Jumat, 31 Agustus 2007

kesalahan umat tentang zakat

Kesalahan ummat dalam memahami kewajiban zakat
Zakat, salah satu rukun islam ini hampir selalu menjadi “yang kedua” setelah rukun-rukun islam yang lain. Di akhir bulan Syawal atau awal dzulqoidah misalnya, orang lebih asyik membincangkan tentang ibadah haji, di akhir bulan Sya’ban serta bulan Ramadhan para Ulama’ labih giat menyerukan tentang fadhilah-fadhilah puasa, pada bulan-bulan lain hampir tak terdengar suara khotib, muballigh atau ustadz yang menyerukan kewajiban berzakat. Padahal kedudukan zakat dalam islam sama pentingnya dengan rukun islam yang lain. Ibarat sebuah bangunan, rukun islam adalah tiang-tiang yang menyanggah atap bangunan tersebut. Artinya jika zakat sebagai salah satu tiang tidak kokoh, maka ia tidak akan kuat menyanggah atap bangunan tersebut.
Dari sinilah mulai timbul kesalahan-kesalahan masyarakat dalam memahami kewajiban berzakat, masyarakat hanya menganggap bahwa zakat adalah sama halnya dengan shodaqoh biasa. Hal ini benar adanya karena zakat adalah shodaqoh yang wajib, namun harus dibedakan antara kewajiban berzakat dengan anjuran bershodaqoh. Kewajiban berarti perintah yang harus dilaksanakan, namun anjuran adalah suatu tuntutan yang tidak bersifat harus. Ini adalah effect yang timbul dari kurangnya sosialisasi tentang perbedaan zakat dan shodaqoh. Sosialisasi yang dilakukan oleh lembaga zakat terbilang kurang efektif, karena sosialisasi zakat oleh lembaga lebih pada sosialisasi lembaga atau program lembaga.
Selain itu, masyarakat lebih mengenal zakat sebagai zakat fitrah yang hanya wajib ditunaikan ketika akhir bulan Ramadhan. Padahal selain zakat fitrah, ada zakat maal yang juga bersifat wajib. Bahkan ada sebagian ulama’ yang mewajibkan zakat dari setiap harta yang berkembang. Itu artinya tidak ada dari harta kita yang bebas dari zakat ketika telah mencapai nishab. Jadi tidak hanya beras yang wajib zakat, tetapi juga harta-harta lain selain itu seperti penghasilan, perdagangan, emas, hewan ternak, dan lain sebagainya.
Hal lain yang menjadi kesalahan dalam memahami kewajiban berzakat adalah, masyarakat hanya menjadikan zakat sebagai ibadah mahdhah saja, artinya masyarakat mengeluarkan zakat karena Allah semata dan menyampingkan aspek muamalah didalamnya. Karena pada dasarnya zakat adalah salah satu kegiatan ekonomi islam dan sebagai sarana pemerataan pendapatan sehingga kesejahteraan masyarakat akan terpenuhi. Para muzakki tidak menyadari itu, sehingga apa yang dikeluarkan atas nama zakat tidak memiliki nilai manfaat untuk pemerataan kekayaan atau kesejahteraan masyarakat miskin.
Para wajib zakat (muzakki) saat ini cenderung lebih memilih berzakat langsung kepada mustahik (penerima manfaat zakat). Padahal jelas, perintah berzakat dalam Al-Quran surat At-taubah: 103, didalamnya terdapat fiil amr (kata perintah) khudz (ambillah) maka dapat dipahami bahwa dalam berzakat ada pihak atau lembaga yang mengambil zakat dari para wajib zakat (muzakki) dalam hal ini adalah amilin zakat. Maka dari itu Allah menjelaskan siapa saja yang berhak memenfaatkan dana zakat dalam surat At-taubah: 90 salah satunya adalah amilin zakat itu artinya ada individu atau lembaga yang bertugas untuk mengurusi zakat yang dibolehkan memanfaatkan dana zakat tersebut. Imam Ar Razi menafsirkan, ayat ini (At-taubah: 60) menunjukkan bahwa masalah penarikan dan distribusi zakat, merupakan otoritas penuh bagi pemerintah dan orang-orang yang mewakilinya. Sebagai dalilnya, Allah memberikan bagian khusus bagi para ‘amil dari dana zakat. Hal ini mengindikasikan bahwa zakat merupakan kewajiban yang harus dioperasionalkan oleh para ‘amil, baik penarikan maupun distribusinya.
Untuk itu lembaga zakat perlu memperbaiki kinerjanya dalam mengelola zakat. Integritas individu harus ditingkatkan, sehingga akan timbul kepercayaan yang tinggi pula dari para muzakki. Selain itu program-program yang dibuat oleh lembaga zakat harus benar-benar sesuai dengan kebutuhan mustahik bukan program yang malah semakin membuat ‘miskin’ mustahik.
Selain program-program yang harus sesuai dengan kebutuhan mustahik, sosialisasi kepada masyarakat tentang kewajiban tidak boleh dilupakan, tidak hanya terbatas pada muzakki saja tetapi juga kepada mustahik. Sehingga apa yang menjadi cita-cita zakat yaitu sebagai solusi berbagai problem umat akan terrealisasi. Wallahu a’lam

Tidak ada komentar: